Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan

Selasa, Januari 27, 2009

Lemahnya Pendidikan Moral dan Pendidikan Agama di Indonesia

ditulis oleh : Agus Hamdani
Ketua Bidang Apresiasi Seni kebudayaan dan Olah Raga
PD IRM Jember 2006-2008


Fenomena yang terjadi ditengah dunia pendidikan Indonesia memang erkadang semakin menyesakkan dada. Mulai mahalnya pendidikan sampai berganti-gantinya kuriulum yang membuat bingung siswa dan pihak lembaga pendidikan . terlebih dengan munculnya standarisasi pendidikan dengan adanya UAN yang mewajibkan siswanya bias disemua bidang dengan setandar nilai yang telah ditentukan sehingga tak jarang siswa yang terkena tekanan batin dan semakin mengenaskan.

Dalam pelaksanaan pendidikan sekarang ini disadari atau tidak pendidikan moral dan keagamaan kurang diminati dan tidak mendapat perhatian lebih dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan moral dan agama hanya dianggap sebagai pelengkap dari kurikulm tanpa disertai perhatian yang intens terhadap hal tersebut. Ini terbukti makin maraknya pergaluan bebas dikalangan pelajar serta tawuran antar siswa yang semakin marak. Ini membuktikan kurangnya control dari orang tua dan tidak efektifnya pendidikan moral dan keagamaan disekolah.

Pendidikan moral dan agama disekolah lebih berkutat pada teori teri yang begitu banyak dan tentang sejarah yang penuh dengan kesempurnaan perilaku. Namun tidak diimbangi dengan adanya aplikasi langsung atau peninjauan terhadap objeknya yaitu siswa itu sendidri. Sejauh manakah pelajaran moral sudah diterapkan oleh siswa dan sejauh manakah ilmu agama yang diddapat di aplikasikan dkehidupan sehari-hari. Masih relevankah materi yang diajarkan didalam sekolah dan bagaimana pemecahan persoalaan yang terjadi ditengah tengah masyarakat sehingga siswa tersebut mampu menangani atau menaggapi segala permasalahan moral dan permasalahan agama yang terjadi disekitarnya

Banyaknya pondok pesantren dan sekolah yang bercirikhas islam pun tidak menjamin seluruh siswa didik yang masuk sekolah tersebut mampu dan bias menjalankan apa yang diajarkan disekolahnya. Kebanyakan pondok pesantren masih menggunakan cara-cara lama yang terus mengikat siswa didiknya untuk tetap dalam keadaan islam yang kental tanpa mengimbangi kehidupan dan perkembangan yang terjadi dimasyarakat sekarang ini,. Sehingga pada akhirnya banyak dari mereka setalah keluar dari pondok pesantren ibarat mendapat kesempatan melampiaskan segala nya sehingga berbuat yang terkadang sangat sulit dikontrol.

Kesulitan lain yang terjadi adalah minat terhadap sekolah yang bercirikhas islam yang begitu rendah, dikarenakan kualitas pendidikan kurang diperhatiakn. Banyak yang hanya mementingkan kuantitas murid tanpa menyadari bahwa keseimbangan pemberian materi dan aplikasinya terhadap siswa memberi pengaruh terhadap perilaku sehari hari siswa tersebut. Komersialisai pendidika pun akhirnya muncul menjadi baying-bayang yang tidak akan pernah hilang oleh tenggelamanya matahari dan bergesernya bumi, selama pemahamannya banyak murid banyak uang yang masuk.

Untuk mengatasi hal-hal tersebut diperlukan metode-metode dan sisitem pendidikan yang dapat menyeimbangkan pendidikan moral dan keagamaan yang bisa diaplikasikan oleh siswa. Karena mau tidak mau setiap hari dihadapkan pada dua hal yang berlawanan yaitu hal negative dan hal positif, sedangkan komposisi di masyarakat lebih banyak hal positif daripada hal negative. Sehingga pendidikan moral dan pendidikan agama adalah ujung tombak dari segala pelajaran ilmu pengetahuan yang diajarkan disekolah. Setidaknya perlu ada pembagian porsi dan tidak lanjut yang lebih terhadap pelajaran moral dan agama karena ini menyangkut perilaku dan kegiatan sehari-hari siswa tersebut. Serta perilaku mereka terhadap masyarakat disekitar mereka.

Konsep yang dapat dicoba adalah bagaimana materi yang diberikan adalah wacana – wacana dasar yang dibuthkan siswa. Selanjutnya siswa dapat menganalisa sendiri apa dan bagaimana perilaku agama dan moralnya di masyarakat.sehingga nantinya permasalahan – permasalahan yang dialamii oleh siswa dapat diselesaikan atau stidaknya dapat dibuat referensi untuk kehidupanya dalam masyarakat. Dan kontinuita serta pendampingan sangat diperlukan agar nantinya siswa bisa menjadi siswa yang tajam dalam ilmu duniawi juga peka dan antusias terhadap kejadia atau fenomena social yang ada di masyarakat.

Kurikulum yang ada hendaknya mampu menjawab kebutuhan dari setiap siswa yang membutuhkan atau bahkan siswa yang idak mendapatkan pendidikan moral serta pendidikan agama dari keluarga atau masyarakat disekitarnya.Pengajar adalah seorang yang mampu membimbing sekaligus menjadi pengganti orang tua ketika berada di sekolah sehingga mereka selalu merasa diawasi baik di sekolah, rumah maupun masyarakat.

Pada akhirnya peran orang tua dan guru yang harus benar – banar bisa memberikan pendidikan moral dan agama secara berimbang. Jangan hanya dituntut profesionalisme saja dan menghilangkan muatan – muatan pendidikan moral dan agama yang harus diberikan kepada siswa tersebut.Keseimbangan yang diberikan adalah kunci mutlak agar kita bisa mengarungi kehidupan setelah sekolah yang benar – benar membutuhkan kasadaran agama dan moral yang tinggi agar tidak tergilas oleh drasnya arus moderenisasi zaman. Pendidikan moral dan agama nantinya juga diharapkan menjadi filter yang paling ampuh untuk menangkal arus globalisasi yang begitu menyesatkan.

Semoga kita lekas sadar bahwa pendidikan moral dan agama sangat diperlukan dan berpengaruh terhadap perilaku siswa itu sendiri. Penidikan moral dan pendidikan agama merupakan pendidikan yang tidak berimbas langsung, namun berimbas pada dikemudian hari. Janganlah kita mendewakan sebuah nilai kognitif saja sebagai parameter suksesnya sebuah pendidikan moral dan agama tetapi aplikasi penddikan tersebutlah yang dapat dijadikan parameter keberhasilan sebuah pendidikan.

Selasa, Desember 23, 2008

Sebuah Abstraksi Pendidikan di Indonesia

Lembaga pendidikan yang seharusnya menghasilkan manusia dewasa terdidik, bijak dalam melihat fenomena kehidupan, sesuai dengan maksud pendidikan sebagai usaha sadar dan sistematis untuk mencapai taraf hidup atau kemajuan yang lebih baik. Namun secara de facto malah menjadi perusahaan jasa pencipta tenaga kerja terampil oleh para kapitalis atau malah menjadi lembaga indoktrinitas kepentingan politik para penguasa, yang lebih parah malah menjadi laboratorium untuk meningkatkan gengsi si pembuat sistem. Alhasil, sistem terus berubah bersama dengan aktor sistem yang berubah padahal pelaku pendidikan belum matang menjalankan sistem yang baru diberlakukan. Maka, yang tercipta manusia robot yang tercipta berdasarkan kepentingan rezim. Sehingga proses kreatifitas dalam pendidikan itu sendiri lambat laun akan beku.
Dalam sebuah pendidikan sebagai proses pembelajaran adalah upaya mengubah manusia menjadi pribadi yang lebih baik. Pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia (Ditjen dikti, 1983/1984 : 19). Maka, perlulah sebuah penyadaran kondisi siapa kita dan makna dari perubahan (transformasi) lalu adanya pemberdayaan dari kesadaran potensi yang dimiliki serta pembelaan (advocation) dari hasil-hasil kreatif yang telah tercapai (freire).
Bertanya pula, apakah sebenarnya pendidikan? Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU SISDIKNAS Pasal 1 Ayat 1).
Menurut Choirul Mahfudz, dalam bukunya, “Pendidikan Multikultural”, mengikhtisarkan dari berbagai definisi pendidikan bahwa pendidikan dapat diartikan :
  1. Suatu proses pertumbuhan yang menyesuaikan dengan lingkungan.
  2. Suatu pengarahan dan bimbingan yang diberikan kepada anak-anak dalam pertumbuhnannya.
  3. Suatu usaha sadar untuk menciptakan suatu keadaan atau situasi tertentu yang dikehendaki oleh masyarakat.
  4. suatu pembentukan karakter, kepribadian, dan kemampuan anak-anak dalam menunju kedewasaan.
Begitulah jika kita melihat idealnya pendidikan, bahkan di dalam suatu konstitusi negara bahwa Pendidikan adalah hal yang wajib dalam penyelenggaraannya, dapat dinikmati semua warga negara. Hal ini termaktub dalam UU SISDIKNAS Pasal 12 Ayat 1 dan 2 : (1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan,serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.(2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.
Namun, realitas memang terkadang tak sejalan dengan idealitas yang telah dicanangkan. Sehingga menuntut sebuah upaya revitalisasi atas hakekat pendidikan itu sendiri.
Dalam pergulatan pendidikan, salah satu stakeholder yang tak dapat dilupakan adalah Pergerakan/organisasi Kepelajaran, dimana telah memproklamirkan diri sebagai aktor pejuang hak-hak pelajar. Pertanyaannya kemudian, bagaimana Pergerakan/organisasi Kepelajaran ini memaknai pendidikan dan mampu memberikan kontribusi bagi perbaikan hingga perubahan realitas pendidikan bangsa Indonesia ini.

Rabu, Agustus 13, 2008

Privatisasi Pendidikan, Penindasan Gaya Baru?

Pertanyaan kita. Apakah pendidikan itu? Haruskah kita merasakannya?

Cukup menggelitik mungkin pertanyaan ini, karena memang sudah menjadi aktifitas yang terlalu biasa saat kita melihat kawan-kawan disekitar kita. Berangkat dan pulang tiap hari, bayar mahal, kejar ijazah, dan nilai-nilai yang berubah menjadi monster gara-gara merenggut nyawa masa depan.

Sedikit kita mencoba melihat dari sisi konstitusi apa yang dimaksud dengan pendidikan dan fungsinya. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (UU SISDIKNAS Pasal 1 ayat 1)

Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (UU SISDIKNAS Pasal 3)

Sudah jelaslah bahkan negara pun sudah mengamini bahwa, jika suatu negara mau besar juga harus mem-prioritaskan pendidikan masyarakatnya. Maka, dari itulah muncul undang-undang yang mengatur masalah Pendidikan dan turunannya. Pada dasarnya pendidikan adalah sebuah solusi atas berbagai permasalahan yang dihadapi manusia. Risalah Muhammad pun membawa Iqra’ sebagai jawaban atas kebutaan manusia atas apa-apa yang menimpanya.

Jika fungsi pendidikan itu sebagai solusi atau peneguhan kemanusiaan manusia, pertanyaan berikutnya bagaimana hukum ‘mengenyamnya’? wajib atau sunnah bahkan haram...sedikit review Pembukaan UUD 1945! Dan perundang-undangan lainnya.

Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. (pasal 5 ayat 1)

Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. (Pasal 6 ayat 1)

Pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.(UU SISDIKNAS Pasal 10 ayat 1)

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan,serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.(2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. (UU SISDIKNAS Pasal 12 Ayat 1&2)

Apalagi jika kita menyatakan diri sebagai muslim, yang sudah jelas tertera keutamaan menuntut ilmu (mengenyam pendidikan) dalam Al-Qur’anul Karim Surat At-Taubah Ayat 122 : “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.

Sekedar mengetahui bahwa pendidikan adalah hak seluruh warga negara serta wajib menuntutnya dan negara wajib memenuhi hak warga negaranya. bahkan UUD 1945 sudah ‘menggratis-kan’ sekolah (lihat Pembukaan UUD 1945 Alinea ke-Empat menerangkan bahwa tugas dan kewajiban negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsanya, jika pemerintah ingin menjadi negara maju dan beradab; pada Pasal 31 UUD 1945 menjelaskan bahwa pendidikan adalah hak seluruh warga negara, tidak peduli kaya atau miskin).

PRIVATISASI PENDIDIKAN? Apa yang terjadi...

Ternyata tidak bisa dipungkiri bahwa ‘kesuksesan pendidikan’ terkait sekali dengan pembiayaan. Dan akhirnya ga’ ada uang ga’ ada pendidikan, mengutip istilah Eko Prasetyo “Orang Miskin Dilarang Sekolah!”. Menyedihkan sekali jika kita menyaksikan pendidikan menjadi alat diskriminasi kondisi sosial ekonomi.

Sebenarnya sudah ada angin segar dalam dunia pendidikan yang menyangkut masalah pembiayaan dan peningkatan kualitas pendidikan, lagi-lagi melalui konstitusi. Amanat UUD 1945 Pasal 31 ayat (4), Negara memperioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”; Bahkan terhadap pengalokasian anggaran pendidikan tersebut telah ditegaskan kembali pada Pasal 49 ayat (1) Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang berbunyi “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)”. Telah digariskan bahwa anggaran 20% harus benar-benar murni di luar gaji guru dan biaya pendidikan kedinasan lainnya.

Rekor bagi Anggaran Pendidikan Indonesia belum pernah melampaui target 10% saja. Mahkamah Konstitusi memberi angin segar, dengan mempersilahkan masyarakat untuk mengajukan permohonan Judicial Review. Lagi-lagi apa yang terjadi? Konstitusi hanya sebatas konstitusi yang wajib hancurkan sendiri. Perkara-perkara yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, seringkali meninggalkan beban baru bagi rakyat kecil dengan berbagai alasan yang tidak dapat dijangkau oleh nalar masyarakat. Norma apa sebenarnya yang dipakai oleh Mahkamah Konstitusi? Jika kita melihat hukum positif harusnya berbagai macam jenis pelanggaran hak & kewajiban di dunia Pendidikan harus ada sanksi sepadan.

Berkembang dan terus berkembang problem dilematis pembiayaan pendidikan. Pemerintah meluncurkan salah satu Pasal dalam UU SISDIKNAS tentang Badan Hukum Pendidikan tertera dalam Pasal 53

(1.) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

(2.) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.

(3.) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.

(4.) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan undang-undang tersendiri.

Secara jelas akan diatur secara teknis dalam RUU BHP yang menghapus subsidi pendidikan, otomatis ‘kemandirian’ lembaga pendidikan menjadi modal utama tumbuh kembangnya pendidikan bagi masyarakat. Mungkin sebagai bahasa halus ‘cuci tangan’ pemerintah atas ketidakmanpuan & ketidakmauan memperhatikan nasib pendidikan di bangsa sendiri. Pemenuhan yang hanya sekian persen dari yang dianggarkan dari APBN/APBD selalu dijawab sebagai sebuah proses pemenuhan Anggaran yang bertahap, alibi ini diperkuat oleh pihak Mahkamah Konstitusi yang melakukan Judicial Review bahwa perlu adanya pertimbangan social-ekonomi Negara.

Pertanyaannya, apa yang telah dibuat dan apa yang telah disepakati oleh legislative kita ternyata hanya menjadi makanannya sendiri (cannibal law). Dan pihak executive cukup sekedar melaksanakan kesepakatan yang tidak membumi. Dimana letak positivisme hukum/perundang-undangan bagi Pendidikan kita?

Gagasan pendidikan murah dari tingkat dasar hingga menengah. Why not?!! Dan negara tetap harus bertanggungjawab.

Demi pena dan apa yang telah dituliskannya. (Q.S. Al-Qolam : 1)

by. dhans.tsaqof@gmail.com

Selasa, Juli 29, 2008

Dialektika Ber-Muhammadiyah

Muhammadiyah lahir sangat dipengaruhi oleh gerakan Salafi Timur Tengah dalam upaya puritanisme Islam (pemurnian). Dalam perjalanannya untuk mendobrak budaya taqlid maka Muhammadiyah selalu berupaya melakukan rasionalisme pada setiap lini kehidupan beragama, melalui keseimbangan fikir dan dzikir. Kita sebagai embrio Muhammadiyah ke depan pun harus demikian dalam upaya pencapaian tujuan gerakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Yang jadi masalah saat ini baik dalam Muhammadiyah maupun ortom-ortomnya seringkali terjadi penggolongan-penggolongan Muhammadiyah kanan (Fundamentalisme radikal) dan Muhammadiyah kiri (rasionalisme liberal), kesepakatan awal sebagai gerakan moderat akhirnya terkubu-kubu oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dalam tubuh Muhammadiyah sendiri, sehingga dalam memutuskan kebijakan-kebijakannya pun sering terjadi kontroversi paradigma. Fenomena seperti ini bukan hanya terjadi pada elit-elit pimpinannya saja, bahkan berimbas pada massa gerakannya sehingga dalam memahami dan menyikapi masalah/issue sering terjadi kesimpang-siuran yang fatal.

Budaya rasionalitas-ilmiah ternyata mulai ditinggalkan, hanya berpedoman kami kaum moderat, Islam-Moderat, beribadah pun koderat. Lalu apa bedanya dengan kaum taqlid yang tinggal mengamini instruksi pusat yang kadang sulit diterjemahkan oleh grassroot (massanya)?

Alhasil, Muhammadiyah kanan yang seringkali tidak sepakat dengan Muhammadiyah kiri atau moderat, akhirnya membawa kekecewaannya dengan mencari rumah baru atas kekecewaannya tersebut, walau pun disatu sisi masih sayang untuk lepas dengan persyarikatan. Sehingga dalam langkah-langkah gerakannya munculllah dualisme Ideologi Gerakan, dimana dalam paradigma kekananannya mencoba masuk dalam setiap gerakan Muhammadiyah, namun nyatanya Muhammadiyah bukan gerakan Dakwah Islam yang kaku, ingatkah Dakwah Kultural yang diusung Muhammadiyah. Sekali lagi yang akan menjadi korban adalah Muhammadiyah!

Begitu pula Muhammadiyah kiri yang tidak sepakat dengan Muhammadiyah kanan dan moderat. Mereka mengusung ghauzul fikr, optimalisasi fungsi akal (ra’yu) dalam setiap aksis maupun konsepsi ideologis, dengan tetap eksis mengatasnamakan Muhammadiyah anti-taqlid di ranah apapun, Dakwah Kultural menjadi metode Gerakannya hingga lalai pada pijakan adanya dengan cultural yang ada. Persekutuan kelompok yang berpijak pada agama dan realitas yang melahirkan aliran pembebasan dengan perangkat konsepsi “teologi pembebasan”.

Lalu apakah benar kaum moderat, yang harus melihat kontekstual dan tekstual? Ingat lagi Muhammadiyah lahir sebagai kaum yang menginginkan pemurnian ajaran Islam dan Mewujudkan masyarakat Islam sebenar-benarnya yang diridhoi Allah SWT…Allah SWT menyukai hal-hal yang seimbang duniawi-ukhrowi, Tekstual-kontesktual, dll. Menurut Ahmad Dahlan, “dalam hidup manusia pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup. Pengetahuan tersebut dapat dicapai dengan sikap kritis dan terbuka dengan mempergunakan akal sehat dan istiqomah terhadap kebenaran ahli dengan dasar hati yang suci”. Berlandaskan atas tiga pilar transformasi kesadaran nilai kader : dimensi penalaran (aqliyah), spiritualitas/keimanan (ruhiyyah), dan kesehatan badan (jasadiyah).

Maka, perlulah kita memahami Gerakan Muhammadiyah periode Awal. Pertama, rekonstruksi pemahaman ke-Islam-an yang terdiri dari revitalisasi keyakinan dasar agama melalui filasafat keterbukaan, toleransi, dan pluralitas. Kedua, penafsiran doktrin Islam untuk pembaharuan social. Dalam konteks ini, Muhammadiyah sangat dikenal sebagai gerakan praksis dan pembaharuan social, membongkar mitos-mitos keagamaan dalam rangka transformasi social. (Achmad Jainuri, “Ideologi Kaum Reformis”).

ditulis oleh : Danik Eka R.