Selasa, Juli 29, 2008

Dialektika Ber-Muhammadiyah

Muhammadiyah lahir sangat dipengaruhi oleh gerakan Salafi Timur Tengah dalam upaya puritanisme Islam (pemurnian). Dalam perjalanannya untuk mendobrak budaya taqlid maka Muhammadiyah selalu berupaya melakukan rasionalisme pada setiap lini kehidupan beragama, melalui keseimbangan fikir dan dzikir. Kita sebagai embrio Muhammadiyah ke depan pun harus demikian dalam upaya pencapaian tujuan gerakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Yang jadi masalah saat ini baik dalam Muhammadiyah maupun ortom-ortomnya seringkali terjadi penggolongan-penggolongan Muhammadiyah kanan (Fundamentalisme radikal) dan Muhammadiyah kiri (rasionalisme liberal), kesepakatan awal sebagai gerakan moderat akhirnya terkubu-kubu oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dalam tubuh Muhammadiyah sendiri, sehingga dalam memutuskan kebijakan-kebijakannya pun sering terjadi kontroversi paradigma. Fenomena seperti ini bukan hanya terjadi pada elit-elit pimpinannya saja, bahkan berimbas pada massa gerakannya sehingga dalam memahami dan menyikapi masalah/issue sering terjadi kesimpang-siuran yang fatal.

Budaya rasionalitas-ilmiah ternyata mulai ditinggalkan, hanya berpedoman kami kaum moderat, Islam-Moderat, beribadah pun koderat. Lalu apa bedanya dengan kaum taqlid yang tinggal mengamini instruksi pusat yang kadang sulit diterjemahkan oleh grassroot (massanya)?

Alhasil, Muhammadiyah kanan yang seringkali tidak sepakat dengan Muhammadiyah kiri atau moderat, akhirnya membawa kekecewaannya dengan mencari rumah baru atas kekecewaannya tersebut, walau pun disatu sisi masih sayang untuk lepas dengan persyarikatan. Sehingga dalam langkah-langkah gerakannya munculllah dualisme Ideologi Gerakan, dimana dalam paradigma kekananannya mencoba masuk dalam setiap gerakan Muhammadiyah, namun nyatanya Muhammadiyah bukan gerakan Dakwah Islam yang kaku, ingatkah Dakwah Kultural yang diusung Muhammadiyah. Sekali lagi yang akan menjadi korban adalah Muhammadiyah!

Begitu pula Muhammadiyah kiri yang tidak sepakat dengan Muhammadiyah kanan dan moderat. Mereka mengusung ghauzul fikr, optimalisasi fungsi akal (ra’yu) dalam setiap aksis maupun konsepsi ideologis, dengan tetap eksis mengatasnamakan Muhammadiyah anti-taqlid di ranah apapun, Dakwah Kultural menjadi metode Gerakannya hingga lalai pada pijakan adanya dengan cultural yang ada. Persekutuan kelompok yang berpijak pada agama dan realitas yang melahirkan aliran pembebasan dengan perangkat konsepsi “teologi pembebasan”.

Lalu apakah benar kaum moderat, yang harus melihat kontekstual dan tekstual? Ingat lagi Muhammadiyah lahir sebagai kaum yang menginginkan pemurnian ajaran Islam dan Mewujudkan masyarakat Islam sebenar-benarnya yang diridhoi Allah SWT…Allah SWT menyukai hal-hal yang seimbang duniawi-ukhrowi, Tekstual-kontesktual, dll. Menurut Ahmad Dahlan, “dalam hidup manusia pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup. Pengetahuan tersebut dapat dicapai dengan sikap kritis dan terbuka dengan mempergunakan akal sehat dan istiqomah terhadap kebenaran ahli dengan dasar hati yang suci”. Berlandaskan atas tiga pilar transformasi kesadaran nilai kader : dimensi penalaran (aqliyah), spiritualitas/keimanan (ruhiyyah), dan kesehatan badan (jasadiyah).

Maka, perlulah kita memahami Gerakan Muhammadiyah periode Awal. Pertama, rekonstruksi pemahaman ke-Islam-an yang terdiri dari revitalisasi keyakinan dasar agama melalui filasafat keterbukaan, toleransi, dan pluralitas. Kedua, penafsiran doktrin Islam untuk pembaharuan social. Dalam konteks ini, Muhammadiyah sangat dikenal sebagai gerakan praksis dan pembaharuan social, membongkar mitos-mitos keagamaan dalam rangka transformasi social. (Achmad Jainuri, “Ideologi Kaum Reformis”).

ditulis oleh : Danik Eka R.

Tidak ada komentar: