Rabu, Agustus 13, 2008

Privatisasi Pendidikan, Penindasan Gaya Baru?

Pertanyaan kita. Apakah pendidikan itu? Haruskah kita merasakannya?

Cukup menggelitik mungkin pertanyaan ini, karena memang sudah menjadi aktifitas yang terlalu biasa saat kita melihat kawan-kawan disekitar kita. Berangkat dan pulang tiap hari, bayar mahal, kejar ijazah, dan nilai-nilai yang berubah menjadi monster gara-gara merenggut nyawa masa depan.

Sedikit kita mencoba melihat dari sisi konstitusi apa yang dimaksud dengan pendidikan dan fungsinya. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (UU SISDIKNAS Pasal 1 ayat 1)

Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (UU SISDIKNAS Pasal 3)

Sudah jelaslah bahkan negara pun sudah mengamini bahwa, jika suatu negara mau besar juga harus mem-prioritaskan pendidikan masyarakatnya. Maka, dari itulah muncul undang-undang yang mengatur masalah Pendidikan dan turunannya. Pada dasarnya pendidikan adalah sebuah solusi atas berbagai permasalahan yang dihadapi manusia. Risalah Muhammad pun membawa Iqra’ sebagai jawaban atas kebutaan manusia atas apa-apa yang menimpanya.

Jika fungsi pendidikan itu sebagai solusi atau peneguhan kemanusiaan manusia, pertanyaan berikutnya bagaimana hukum ‘mengenyamnya’? wajib atau sunnah bahkan haram...sedikit review Pembukaan UUD 1945! Dan perundang-undangan lainnya.

Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. (pasal 5 ayat 1)

Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. (Pasal 6 ayat 1)

Pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.(UU SISDIKNAS Pasal 10 ayat 1)

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan,serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.(2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. (UU SISDIKNAS Pasal 12 Ayat 1&2)

Apalagi jika kita menyatakan diri sebagai muslim, yang sudah jelas tertera keutamaan menuntut ilmu (mengenyam pendidikan) dalam Al-Qur’anul Karim Surat At-Taubah Ayat 122 : “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.

Sekedar mengetahui bahwa pendidikan adalah hak seluruh warga negara serta wajib menuntutnya dan negara wajib memenuhi hak warga negaranya. bahkan UUD 1945 sudah ‘menggratis-kan’ sekolah (lihat Pembukaan UUD 1945 Alinea ke-Empat menerangkan bahwa tugas dan kewajiban negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsanya, jika pemerintah ingin menjadi negara maju dan beradab; pada Pasal 31 UUD 1945 menjelaskan bahwa pendidikan adalah hak seluruh warga negara, tidak peduli kaya atau miskin).

PRIVATISASI PENDIDIKAN? Apa yang terjadi...

Ternyata tidak bisa dipungkiri bahwa ‘kesuksesan pendidikan’ terkait sekali dengan pembiayaan. Dan akhirnya ga’ ada uang ga’ ada pendidikan, mengutip istilah Eko Prasetyo “Orang Miskin Dilarang Sekolah!”. Menyedihkan sekali jika kita menyaksikan pendidikan menjadi alat diskriminasi kondisi sosial ekonomi.

Sebenarnya sudah ada angin segar dalam dunia pendidikan yang menyangkut masalah pembiayaan dan peningkatan kualitas pendidikan, lagi-lagi melalui konstitusi. Amanat UUD 1945 Pasal 31 ayat (4), Negara memperioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”; Bahkan terhadap pengalokasian anggaran pendidikan tersebut telah ditegaskan kembali pada Pasal 49 ayat (1) Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang berbunyi “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)”. Telah digariskan bahwa anggaran 20% harus benar-benar murni di luar gaji guru dan biaya pendidikan kedinasan lainnya.

Rekor bagi Anggaran Pendidikan Indonesia belum pernah melampaui target 10% saja. Mahkamah Konstitusi memberi angin segar, dengan mempersilahkan masyarakat untuk mengajukan permohonan Judicial Review. Lagi-lagi apa yang terjadi? Konstitusi hanya sebatas konstitusi yang wajib hancurkan sendiri. Perkara-perkara yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, seringkali meninggalkan beban baru bagi rakyat kecil dengan berbagai alasan yang tidak dapat dijangkau oleh nalar masyarakat. Norma apa sebenarnya yang dipakai oleh Mahkamah Konstitusi? Jika kita melihat hukum positif harusnya berbagai macam jenis pelanggaran hak & kewajiban di dunia Pendidikan harus ada sanksi sepadan.

Berkembang dan terus berkembang problem dilematis pembiayaan pendidikan. Pemerintah meluncurkan salah satu Pasal dalam UU SISDIKNAS tentang Badan Hukum Pendidikan tertera dalam Pasal 53

(1.) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

(2.) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.

(3.) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.

(4.) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan undang-undang tersendiri.

Secara jelas akan diatur secara teknis dalam RUU BHP yang menghapus subsidi pendidikan, otomatis ‘kemandirian’ lembaga pendidikan menjadi modal utama tumbuh kembangnya pendidikan bagi masyarakat. Mungkin sebagai bahasa halus ‘cuci tangan’ pemerintah atas ketidakmanpuan & ketidakmauan memperhatikan nasib pendidikan di bangsa sendiri. Pemenuhan yang hanya sekian persen dari yang dianggarkan dari APBN/APBD selalu dijawab sebagai sebuah proses pemenuhan Anggaran yang bertahap, alibi ini diperkuat oleh pihak Mahkamah Konstitusi yang melakukan Judicial Review bahwa perlu adanya pertimbangan social-ekonomi Negara.

Pertanyaannya, apa yang telah dibuat dan apa yang telah disepakati oleh legislative kita ternyata hanya menjadi makanannya sendiri (cannibal law). Dan pihak executive cukup sekedar melaksanakan kesepakatan yang tidak membumi. Dimana letak positivisme hukum/perundang-undangan bagi Pendidikan kita?

Gagasan pendidikan murah dari tingkat dasar hingga menengah. Why not?!! Dan negara tetap harus bertanggungjawab.

Demi pena dan apa yang telah dituliskannya. (Q.S. Al-Qolam : 1)

by. dhans.tsaqof@gmail.com

Tidak ada komentar: